Minggu (21/10/2018) - Riyadhul Fikr Universitas Negeri
Malang (UM), menggelar Diskusi Spesial
Hari Santri Nasional di Roekeloos Coffee. Diskusi kali ini bertema Resolusi Jihad NU: Refleksi Kebangkitan Kaum
Tradisional dan diisi oleh dua
pemateri yaitu Arif Subekti, S.Pd,MA (Dosen Sejarah UM)
dan Ahmad Sirojul Munir,S.Hum
(Lurah Ponpes Sabilurrisyad Gasek). Sekitar 30 peserta yang hadir berasal dari kalangan mahasiswa dan santri-santri dari
berbagai pondok pesantren.
Diskusi dilaksanakan dalam dua sesi. Sesi
pertama diisi oleh Bapak Arif
Subekti dengan pembahasan mengenai simetrisasi
sejarah dan masa lalu terutama dalam konteks resolusi jihad. Pada penjelasan awal, dapat kita ketahui bahwa sebenarnya resolusi jihad
terdeklarasi atas fatwa Kyai Hasyim Asy’ari yaitu, tragedi tentang resolusi
jihad yang masih
sedikit dibahas dalam buku-buku
sejarah nasional. Seperti dalam
buku resolusi jihad saja hanya terdapat tiga paragraph yang membahas resolusi jihad itu
sendiri. Pada pembahasan selanjutnya,
beliau mengajak para peserta
untuk mengingat kembali mengenai
sejarah yang berhubungan dengan
hari santri pada 20 Oktober. Sebagai pengantar materi yang beliau sampaikan,
Bapak Arif Subekti menjelaskan
tentang pandangan-pandangan beberapa ahli tentang sosok santri tradisional,
hingga bagaimana santri pada zaman dahulu dalam melalui peristiwa bersejarah seperti tragedi 10 Oktober 1945.
Diskusi semakin interaktif dengan beberapa pertanyaan
yang diajukan oleh peserta. Pertanyaan pertama tentang perbedaan santri dulu
dengan santri sekarang ditinjau dari kehidupan dan adab di tengah perkembangan
zaman. Pemateri menjelaskan bahwa, kita tidak bisa begitu saja menarik
kesimpulan bahwasanya santri dulu lebih baik dari santri sekarang ataupun
sebaliknya. Hal ini dikarenakan dalam satu abad terdapat resolusi
pemikiran orang Islam
di Indonesia. Tidak bisa dipungkiri juga istilah santri terdahulu lebih abangan dari
santri jaman sekarang. Pemateri pertama menyimpulkan bahwa jati diri santri
tergantung pada
diri pribadi santri tersebut tanpa memandang zaman dan poros waktu yang ada. Pertanyaan selanjutnya mengenai peringatan Hari Santri
Nasional pada tanggal 22 Oktober. Mengingat bahwa bukti sejarah yang valid bisa dikatakan kurang memadai.
Pemateri menjawab dengan pemaparan hasil dari landasan
yuridis-formal penyelenggaraan peringatan Hari Santri adalah sesuai Kappres
No.22 Tahun 2015 pada point C yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo.
Sesi kedua diskusi diisi oleh
Ahmad Sirojul Munir yang mengawali
materinya dengan menceritakan kisah dari resolusi
jihad pasca proklamasi.
Beliau menjelaskan
bahwa pengungkapan jihad berkaitan dengan upaya Kyai Hasyim untuk menumbuhkan dan mengobarkan
semangat para santri terutama dalam melawan penjajah (Belanda). Saat itu, Kyai Hasyim mengatakan
bahwa “membela
NKRI sama halnya
dengan membela agama, dan apabila mati dalam membela NKRI maka mati syahidlah
yang didapatnya”. Kemudian
penjelasan berlanjut pada terminologi kaum snatri yang disampaika oleh
Gus Mus yaitu
“Bahwa santri bukan hanya yang bermukim di
pondok pesantren, tetapi mereka yang memiliki akhlak seperti santri bisa
disebut santri”. Lalu ditambah tentang karakteristik seorang santri yang
bersifat shalih
dan akrhom.
Penekanan materi kali ini yaitu pada karakter
santri zaman dulu yang masih relevan diterapkan oleh santri sekarang diantaranya; semangat membaca, semangat
menulis, dan semangat diskusi atau sawir.
Sesi akhir diskusi semakin menarik dengan pertanyaan
mengenai apa yang seharusnya dilakukan oleh santri zaman sekarang, dan dari
pertanyaan ini berkembanglah ke sebuah diskusi yang lebih interaktif lagi.
Kemudian tambahan dari Bapak Arif Subekti tentang 3 hal yang bisa dilakukan
oleh santri yaitu menjadi warga negara yang baik, muslim yang baik, dan muslim
moderen. Diskusi ditutup oleh moderator dengan penyampaian kembali terminologi
santri dari Gus Mus yaitu “Santri bukan hanya
mereka yang belajar di pondok pesantren, tapi dia yang berakhlak
seperti santri bisa disebut sebagai santri”
Penulis : Khusnul Khotimah
Editor : Najatul Ubadati